JOHNY THEDENZ: “PERGESERAN MUSIK GEREJA, KETIKA DOA JADI DENTUMAN”

WARTANET NKRI.COM – Lampu sorot menari-nari, asap tipis mengepul di panggung, dan dentuman bass merambat memenuhi ruang ibadah. Jemaat muda mengangkat tangan, bertepuk, bahkan bersorak dalam sukacita. Suasana ibadah terasa gegap gempita, lebih mirip konser rohani ketimbang persekutuan Minggu yang hening dan khidmat. Sebagian orang menyebut ini tanda bahwa gereja sedang “hidup” dan “gaul”. Tetapi di balik sorak-sorai itu, tersisa pertanyaan lirih: masihkah musik gereja menjaga makna sakralnya?

Pertanyaan itu kini menjadi kegelisahan seorang pengamat musik grejawi, Johny Thedenz. Dalam pandangannya, modernisasi musik gereja yang kian mengadopsi genre populer memang tidak salah, tetapi berbahaya jika kehilangan pijakan rohaninya.
“Musik gereja bukan hiburan. Ia adalah doa yang dinyanyikan. Jika nilai etikanya hilang, maka musik gereja kehilangan jati diri,” tegas Johny.

MODERNISASI: ANTARA KREATIVITAS DAN PERGESERAN

Tidak dapat disangkal, musik gereja terus berkembang. Dari himne-himne klasik yang sarat teologi, kini banyak ibadah dihiasi aransemen pop, jazz, rock, hingga rap. Lagu kontemporer dianggap mampu menggaet generasi muda yang lahir dalam dunia digital.

Namun, bagi Johny, di balik gebyar itu tersimpan bahaya. “Gereja harus berhati-hati. Musik ibadah bukan soal menarik massa, tapi soal membentuk hati umat,” katanya.

Peringatan ini sejalan dengan pesan almarhum Pdt. Eka Darmaputera: “Musik ibadah bukan untuk menyenangkan manusia, melainkan untuk memuliakan Allah.” Kata-kata ini kini bergema kembali, seakan mengingatkan gereja untuk tidak kehilangan arah.

NILAI ETIKA DAN MORAL YANG MULAI TERKIKIS

Himne klasik, sebagaimana dicatat oleh sejarawan musik liturgi Erik Routley, lahir bukan sekadar untuk dinyanyikan, melainkan sebagai “catechism in song”—pengajaran iman dalam bentuk nyanyian. Syair seperti “O Sacred Head, Now Wounded” karya Paul Gerhardt adalah doa yang melukis penderitaan Kristus dengan kedalaman teologis.

Kini, banyak lagu gereja modern hanya berisi repetisi sederhana: “kasih-Mu besar” atau “Yesus baik.” Indah, tetapi dangkal jika dipandang dari sisi teologis. Ditambah tata lampu bak panggung konser dan gaya pemusik yang menonjolkan performa, ibadah sering kali teralih dari adoratio (penyembahan) menuju entertainment (hiburan).

Johny menyebut ini persoalan etis. “Etika musik gerejawi bukan hanya soal lirik, tapi juga sikap hati. Musik harus mengarahkan umat kepada Tuhan, bukan kepada performer,” katanya.

GEREJA SEBAGAI PENJAGA SAKRALITAS

Sejarah gereja mencatat, Martin Luther—bapak Reformasi—pernah berkata, “Musik adalah karunia terbesar Allah, lebih tinggi dari segala seni dan filsafat. Ia menenangkan hati, menyatukan jiwa, dan membuat iblis lari.” Bagi Luther, musik dalam ibadah adalah alat pengajaran iman sekaligus senjata rohani.

Johann Sebastian Bach, komponis besar Jerman yang seluruh karyanya dipersembahkan untuk gereja, bahkan menuliskan di banyak partiturnya: “Soli Deo Gloria”—Hanya bagi Allah segala kemuliaan. Musik baginya bukan sekadar estetika, melainkan persembahan suci.

Dalam tradisi Katolik pun, Konsili Vatikan II melalui dokumen Sacrosanctum Concilium (1963) menegaskan bahwa musik liturgi harus menuntun umat “masuk lebih dalam ke dalam misteri iman.” Senada dengan itu, Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa musik liturgis sejati harus memiliki tiga ciri: keindahan, kesesuaian dengan liturgi, dan universalitas.

Prinsip-prinsip inilah yang menurut Johny Thedenz perlu dihidupi kembali oleh gereja masa kini. Kreativitas boleh berkembang, tetapi tidak boleh mengaburkan kesakralan.

REFLEKSI BERSAMA

Fenomena pergeseran musik gereja dari doa menuju hiburan adalah kenyataan. Tetapi suara Johny Thedenz bukanlah seruan menolak modernisasi, melainkan panggilan untuk menata ulang arah. Gereja harus berani bertanya: apakah musik kita masih mengantar umat ke hadirat Tuhan, atau justru sekadar menuruti selera zaman?

Musik gereja, apa pun bentuknya, harus tetap menjadi doa yang bernyanyi, bukan sekadar dentuman penghibur. “Tugas gereja adalah memastikan musik membawa umat masuk ke hadirat Tuhan. Jika itu hilang, maka kita hanya bernyanyi untuk diri sendiri,” pungkas Johny.

Pesan ini bukan hanya untuk para pemusik atau pelayan gereja, melainkan juga untuk seluruh jemaat. Sebab di tengah derasnya arus modernisasi, musik grejawi adalah warisan iman yang luhur—suara doa yang merajut jiwa dengan Sang Khalik, dan karunia agung yang harus dijaga tetap murni dari generasi ke generasi. (WNN/ Reinaldo Patren dan Sam TGD)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights