LAHAN PERTANIAN ADALAH KEBUTUHAN INSAN YANG SERING TERLUPAKAN
Oleh : Aliya Farras Prastina
WARTANET NKRI – Dulu Presiden kita yang pertama, Ir. Soekarno, pernah mengatakan bahwa ; Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?.
Serangkaian kata di atas sepertinya tepat untuk menggambarkan definisi masyarakat sejahtera yang sebenarnya. Sejahtera bukan tentang banyaknya penjabat negara yang kaya raya dan orang-orang sukses yang lahannya berjejer dimana-mana.
Kesejahteraan negara ada ketika seluruh masyarakatnya cukup untuk sandang, pangan, dan papan. Perihal pangan, “Lantas, apa kabar penyediaan pangan Indonesia saat ini?”Pertanyaan itu sering muncul karena penyediaan pangan atau ketahanan pangan merupakan isu kajian yang cukup strategis dibahas di era revolusi saat ini.
Bahkan ketahanan pangan menjadi salah satu bagian dari tujuan SDGs yang dirancang oleh pemerintah. Lebih tepatnya ketahanan pangan ini menjadi tujuan SDGs nomor 2, yaitu untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan.Tentu, tujuan SDGs ini juga sejalan dengan salah satu tujuan pembangunan Indonesia.
Dilansir dari web resmi SDGs Bappenas, salah satu target dari tujuan SDGs ini yaitu pada tahun 2030, Indonesia mampu melipatgandakan produktivitas pertanian dan pendapatan produsen makanan skala kecil, khususnya keluarga petani, perempuan, masyarakat penduduk asli, nelayan, dan penggembala, termasuk melalui akses yang aman dan sama terhadap lahan, sumber daya produktif, dan input lainnya yaitu pengetahuan, jasa keuangan, pasar, dan peluang nilai tambah, serta pekerjaan nonpertanian.
Salah satu hal yang perlu digaris bawahi adalah adanya akses yang sama dan aman terhadap lahan. Hal tersebut cukup erat kaitannya dengan pengalihfungsian lahan dimana masih terdapat pertanyaan besar, apakah alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia sudah berjalan dengan baik.
LAHANKU KEBUTUHANKU
Lahan pertanian merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi seluruh manusia. Lahan menjadi tempat untuk membudidayakan tanaman yang menjadi sumber utama pangan. Ditambah dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat membuat urgensi keberadaan lahan pertanian ini menjadi semakin kuat.
Lantas, apa yang terjadi dengan kondisi lahan pertanian Indonesia sekarang? Memprihatinkan. Kata itu sedikit menggambarkan bagaimana kondisi lahan pertanian saat ini.
Indonesia yang luas total wilayahnya yaitu sekitar 7,81 juta km2 dengan luas daratan sekitar 2,01 juta km2 mengalami perubahan luas lahan pertanian yang cukup signifikan setiap tahunnya. Alih fungsi lahan pertanian adalah suatu proses pengalih fungsian lahan yang awal penggunaannya sebagai lahan pertanian pada sebagian atau keseluruhan lahan menjadi lahan non pertanian.
Berdasarkan penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) saat menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA) pertama kali tahun 2018, luas baku sawah nasional hanya 7,1 juta hektar. Padahal, berdasarkan hitungan tahun 2013 oleh BPN, luas baku sawah masih 7,75 juta hektar yang artinya mengalami penyusutan 650.000 hektar. Dengan kata lain, dalam kurun 5 tahun luas lahan baku sawah hilang 130.000 ha/tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi Tahun 2020 hanya mencapai 10,66 juta hektar atau mengalami penurunan sebesar 0,19 persen dibandingkan dengan Tahun 2019 yang sejumlah 10,68 juta hektar atau 20,61 ribu hektar. Data tersebut cukup mengkhawatirkan melihat pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus bertambah. Lahan pertanian ini biasa dialihfungsikan sebagai pabrik, pemukiman, tempat wisata, dll.
BAGAIMANA ALIH FUNGSI LAHAN INI BISA TERJADI?
Alih fungsi lahan atau biasa disebut konversi lahan, pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi. Namun, pada kenyataannya konversi lahan yang diadakan besar-besaran ini menjadi masalah yang cukup krusial karena dampaknya yang besar bagi masyarakat dan lingkungan.
Terdapat tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Pertama, faktor internal dimana faktor ini lebih melihat dari sisi kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
Kemudian, kedua yaitu faktor eksternal yang merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. Terakhir, faktor kebijakan yang merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Sebagian besar konversi lahan ini menjadi cerminan yang menunjukkan adanya ketimpangan antara pihak kapitalis dengan petani terkait regulasi konversi lahan pertanian.
Dari ketiga faktor di atas, secara umum terdapat dua faktor utama yang saat ini menjadi sorotan dalam konversi lahan. Pertama faktor ekonomi, alasan yang sering dikatakan oleh petani saat mengonversikan lahannya adalah karena kebutuhan keluarga dan harga lahan yang tinggi.
Kedua yaitu faktor sosial. Faktor sosial ini meluputi banyak hal, yang pertama menurunnya citra petani dan kurangnya minat generasi muda. Hal ini juga menjadi masalah yang cukup krusial di pertanian dimana stigma masyarakat mendengar kata petani itu sudah negatif, petani dianggap sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan dan identik kuno.
Hal ini membuat para petani memilih tidak melajutkan usaha taninya dan menjual lahannya. Selanjutnya yaitu adanya sistem waris di masyarakat, bagi warisan berupa lahan ini membuat lahan terfragmentasi dan setiap kepala keluarga berhak untuk mau membudidayakan atau justru menjual lahan kepemilikannya untuk dialihfungsikan.
KONVERSI LAHAN YANG MERUGIKAN, LANTAS APA YANG BISA DILAKUKAN?
Konversi lahan pertanian dianggap tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi serta daya serap tenaga kerja yang nantinya akan berdampak pada penurunan produksi pangan, dan pendapatan per kapita keluarga tani. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghadapi konversi lahan ini.
Yang pertama memperkecil peluang konversi lahan dilihat dari sisi permintaan, pengendalian sawah dapat ditempuh melalui pengembangan pajak tanah yang progresif, meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non-pertanian sehingga tidak ada tanah terlantar serta mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun.
Yang kedua, mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan lahan yang kurang produktif atau lahan terlantar.
Ketiga, dengan meningkatkan kesadaran para petani dan pemilik lahan untuk mengoptimalkan lahan pertanian yang dimilikinya dengan meningkatkan produktivitas hasil pertanian yang ada.
Keempat, meningkatkan kesadaran kepada para pelaku pembangunan industri/pemukiman agar lebih memperhatikan kondisi lingkungan yang ingin dijadikan sebagai tempat pembangunan industri.
Terakhir yaitu terus mengembangkan teknologi agar dapat berionvasi dan menumbuhkan minat para generasi muda di bidang pertanian. Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari konversi lahan ini membuat kita sebagai masyarakat Indonesia harus lebih peduli terhadap lingkungan yang terjadi saat ini. Konversi lahan akan terus menjadi-jadi apabila kita tidak berupaya untuk meminimalisirnya.
Perlu ada kolaborasi yang baik antara pemerintah, petani, penyuluh pertanian, dan para stakeholder lainnya untuk mengendalikan konversi lahan. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus lebih tegas dalam menerapkan dan membuat regulasi yang ada.
Petani sebagai pelaku harus lebih memperhatikan dampak panjang yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan ini. Jangan sampai para petani hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek saja, tetapi melupakan dampak panjangnya.
Kemudian para pengusaha atau para pelaku pembangunan juga harus lebih memperhatikan lingkungan, perlu adanya analisis AMDAL yang baik serta memilih lahan-lahan yang sekiranya sudah tidak mampu produktif.
Selanjutnya penyuluh, seorang penyuluh pertanian juga berpengaruh pada kasus konversi lahan ini karena merekalah yang menjadi jembatan antara petani dengan pihak luar, penyuluh harus terus berinovasi, memberi semangat dan motivasi kepada petani agar mampu lebih produktif dan mempertahankan lahannya. Kemudian, peran dari masyarakat luas.
Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat luas adalah meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dan menghapus stigma buruk tentang pekerjaan petani karena hal tersebut akan berdampak pada menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke bidang pertanian.
Perlu diingat kembali bahwa selagi manusia membutuhkan makan untuk menunjang kehidupannya, maka profesi petani dan kegiatan pertanian akan terus ada dan tidak akan musnah.
MAHASISWA BISA APA?
Selain pemerintah, petani, penyuluh, dan masyarakat luas, mahasiswa yang diharapkan dapat menjadi agent of change sangat berpengaruh terhadap kondisi pertanian selanjutnya. Terkhusus lagi mahasiswa pertanian yang setiap harinya belajar tentang seluk beluk pertanian hingga ke akarnya.
Sudah menjadi peran dari mahasiswa tersebut untuk andil dan bertanggung jawab terhadap kondisi pertanian saat ini. Jangan sampai kita mahasiswa pertanian hanya tahu bagaimana membudidayakan tanaman, menanggulangi hama, dan menghitung produktivitas lahan tetapi lupa untuk belajar hukum pertanian khususnya terkait alih fungsi lahan ini.
Kita sebagai seorang mahasiswa yang diaggap mempunyai kapasitas pengetahuan yang lebih dari petani di desa diharapkan mampu membawa perubahan besar dengan kemajuan teknologi yang ada. Inovasi-inovasi yang kita canangkan sangat dibutuhkan oleh petani tua saat ini.
Pemikiran kita yang kritis terhadap isu-isu sangat dibutuhkan untuk membantu pemerintah menanggulangi permasalahan yang terjadi. Selain itu, kemampuan komunikasi kita yang mumpuni diharapkan bisa menjadi salah satu media untuk memberikan edukasi ke masyarakat sekitar.
“Mahasiswa yang luar biasa bukan mahasiswa dengan IPK tinggi, pandai berdebat, dan mengkritisi setiap kebijakan pemerintah tetapi mahasiswa yang hebat adalah mereka yang bisa memanfaatkan ilmunya agar berguna untuk masyarakat”. (Pieter/WNN)
Sumber Artikel : fosi.fp.unila.ac.id
Foto : Antara News