BPK XVI NTT LAKUKAN FGD ‘INVENTARISASI KULINER TRADISIONAL AI UHIK KUHUS” DI ATAMBUA

WARTA NET NKRI – Balai Pelastarian Kebudayaan Wilayah XVI, Kementerian Kebudayaan Nasional, melakukan Focus Group Discussion (FGD), Bersama 20 peserta yang berasal dari Tokoh Adat, Budayawan, Pemerhati Budaya, Pelaku Usaha Kuliner Tradisional dan Generasi Milenial, dalam rangka Inventarisasi Kuliner Tradisional ‘Ai Uhik Kuhus’ karya budaya masyarakat kabupaten Belu.

Kegiatan ini dilakukan pada, Jumad, 8 Agustus 2025, bertempat di Aula Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Belu, di kota Atambua.

KADIS PARBUD BELU : BUKA RESMI ACARA FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)

Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Belu, Januaria Nona Alo.

Acara FGD tersebut dibuka dengan resmi oleh Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Belu, Januaria Nona Alo,  mengawali sambutan, mengatakan, atas nama pemerintah kabupaten Belu, pihaknya dan semua staf, sangat berterimakasih atas kedatangan Tim Peneliti Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI NTT, yang datang untuk menggali data-data penting terkait ‘Ai Uhik Kuhus’, agar layak ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia, yang berasal dari karya budaya masyarakat Belu.

“Daerah kami memiliki dana sangat terbatas untuk kegiatan-kegiatan WBTB seperti ini, dan kini BPK XVI telah berkenan datang membantu kami, sehingga pada kesempatan FGD ini, kami ucapkan banyak terimakasih, dengan harapan apa yang dilakukan oleh Tim Peneliti, dapat berjalan lancar dan sukses pada tujuannya. Dan tentu kami juga akan membantu upaya pengumpulan data yang dibutuhkan oleh para peneliti dari BPK Wilayah XVI ”, ucap Januaria.

Kata Januaria, ada beberapa Karya Budaya Masyarakat Belu yang sudah mendapat penetapan sebagai WBTB Nasional, namun untuk jenis Kuliner atau Makanan Tradisional seperti ini, baru ada kesempatan yang dibantu biayanya oleh BPK XVI, karna itu kami sangat berterimakasih banyak.

“Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, saya membuka acara FGD ini dengan resmi”, papar Januaria, mengakhiri pembicaraan.

Kepada Media ini, salah satu anggota Tim Peneliti, Eka Karma, mengatakan, acara FGD ini, bertemakan, Inventarisasi Karya Budaya Kuliner Tradisional Ai Uhik Kuhus, milik masyarakat Belu untuk ditetapkan sebagai WBTB Indonesia.

Anggota Tim Peneliti BPK XVI, Eka Karma.

“Kegiatan ini dihadiri oleh Pemerhati Budaya, Budayawan, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, dan Pelaku Usaha Kuliner, yang berasal dari Kabupaten Belu, semuanya berjumlah 20 peserta”, papar Eka Karma.

Sementara seoarang anggota Tim Peneliti Lainnya, Hartono, menjelaskan, Ai Uhik Kuhus, merupakan makanan tradisional yang berasal dari Umbi tumbuhan Singkong, yang dikelola secara tradisional menjadi makanan dan dikonsumsi oleh masyarakat Belu sejak ratusan tahun silam hingga saat ini.

“Kami sudah mengumpulkan data-data akurat dari berbagai masyarakat pada desa-desa dalam kabupaten Belu, dan untuk memastikan kebenaran data-data ini maka kami lakukan FGD, sehingga Ketika diajukan nanti ke tingkat Nasional, dapat diterima dan ditetapkan sebagai WBTB Indonesia yang berasal dari Masyarakat Kabupaten Belu”, jelas Hartono.

Anggota Tim Peneliti BPK XVI, Hartono.

Bertindak sebagai Moderator dalam acara FGD ini adalah Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Belu, Antonia Wilfrida Rouk.

“Semoga Bapa dan Mama serta Kaum muda yang hadir, dapat memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dapat menjadi data-data yang akurat bagi Tim Peneliti, sehingga makanan tradisional peninggalan leluhur ini bisa layak untuk ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia,”tutur Antonia mengawali pembicaraannya.

Kabid Kebudayaan, Antonia Rouk.

Dalam FGD tersebut, kedua anggota TIM Peneliti (Eka dan Hartono), bersama Kabid Kebudayaan Kabupaten Belu, Ibu Antonia Wilfrida Rouk, mengajukan 30 materi sebagai bahan diskusi bersama 20 peserta, dan terjadilah diskusi focus yang berakhir pada tujuan utama yang diharapkan.

“Ai Uhik Kuhus adalah makanan tradisional kami, sejak jaman dahulu kala hingga saat ini. Ai artinya “Kayu”, Uhik artinya “Ubi”, Kuhus artinya “Kukus”, Ai Uhik Kukus artinya “Ubi Kayu Yang di Kukus” secara Tradisional”, jelas Tokoh Adat Masyarakat Suku Buna,Nai Yosep Mau Leo, (61), dalam diskusi tersebut.

Tokoh Adat Suku Buna-Marae, Nai Yosep Mau Leo.

Kata Nai Yosep, proses pembuatannya dimulai dari penggalian umbi dari ubi kayu kemudian dikupas kulitnya lalu dipotong, dibelah-belah tipis dan dijemur hingga kering. Setelah kering, umbi tersebut ditumbuk menjadi tepung, kemudian dicampur dengan sedikit air, gula lempeng dan kelapa kering yang sudah diparut, kemudian dimasukkan dalam anyaman daun pandan berbentuk kerucut yang disebut Kuhus, lalu di kukus memakai periuk tanah di atas api dari kayu yang menyala.

“Kami orang Buna menyebut periuk tanah dengan sebutan Wuer Muk, sedangkan orang Tetun menyebutnya dengan sebutan Sanan Rai. Sedangkan tungku api kayu yang terbuat dari batu, kami orang Buna dan orang Tetun menyebutnya sama yaitu, Lalian.

Sementara tokoh adat masyarakat Suku Tetun, Pius Maksi Nura (60), dalam FGD itu mengatakan, bahwa jaman dulu nenek moyang mereka membuat Ai Uhik Kuhus, menggunakan umbi dari Pohon Ubi Kayu Liar, bentuk tanamannya tinggi dengan batang yang besar, yang tumbuhnya secara liar dalam hutan atau kebun.

Tokoh Adat Suku Tetun, Pius Maksi Nura.

“Sebelum mengenal Ubi Kayu atau Singkong, nenek moyang kami menggunakan Umbi dari Ubi liar tersebut untuk makanan Ai Uhik Kuhus, umbi itu di rebus selama kurang lebih 9 kali sampai rebusannya tidak terasa pahit lagi, baru kemudian dikelola menjadi Ai Uhik Kuhus”, jelasnya.

Salah satu peserta FGD, yang juga Tokoh adat Tetun Bernama, Wendelinus Manek (61), mengisahkan bahwa, jaman dulu, adonan ubi kukus tersebut dicampur dengan kacang hutan berwarna merah atau hitam yang disebut  Ha Tisi, Ha artinya Kacang, Tisi artinya Saring, pengertiannya bahwa Kacang yang direbus dan disaring banyak kali, lalu dihancurkan dan dicampur dengan tepung ubi untuk dijadikan Ai Uhik Kuhus.

Tokoh Adat Suku Tetun, Wendelinus Manek.

Pelaku Bisnis Kuliner Atambua pada Warung Pojok Lokal bernama, Oma Ona (77 Tahun), mengatakan sudah 30 tahun dia mengelola makanan tradisional dengan memakai bahan utama Ubi dan Sagu. Dan khusus penjualan Ai Uhik Kuhus tersebut sudah dijalaninya selama 10 tahun.

Pelaku Dagang Kuliner Atambua, Mama Ona.

“Banyak orang datang membeli Ai Uhik Kuhus di warung saya yang buka setiap hari. Ini pertanda Bisnis Ai Uhik Kuhus sangat menjanjikan bagi pendapatan ekonomi masyarakat. Pemerintah harus terus mendorong para kaum muda Belu, agar makanan peninggalan leluhur ini terus dikenal dan akan lestari sepanjang masa. Makan Ai Uhik Kuhus Bersama akan mengingatkan kita pada leluhur, yang dulunya berjuang mempertahankan makanan ini sebagai salah satu makanan pokok orang Belu, ketika menghadapi musim kekeringan, kelaparan dan gagal panen padi serta jagung”, tutur Oma Ona.

Budayawan Muda Belu, Anggel Seran (40), mengatakan, dari berbagai referensi sejarah yang ditelitinya, maka dia menyimpulkan bahwa makanan tersebut sebagai makanan para leluhur dulu sebagai makanan yang tahan lama dalam menghadapi masa-masa perang melawan penjajah serta makanan yang dapat bertahan lama saat bekerja paksa yang diperintahkan oleh penjajah.

Budayawan Muda Belu, Anggel Seran.

“Makanan ini sebagai symbol perlawanan asyarakat kecil Belu terhadap kaum penjajah, dimana masyarakat dipaksa bekerja keras dulu baru diberikan beras. Maka untuk menghindari kerja paksa, masyarakat membuat makanan ini untuk bertahan hidupnya”, jelas Anggel.

Sementara, pelaku usaha Kuliner Atambua, Densy Roman(56), mengatakan, usaha kuliner Ai Uhik Kuhus ini, yang sudah dijalaninya hampir 5 tahun, sangat membantu ekonomi keluarga untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Karena itu, dia mengharapkan masyarakat dan anak-anak muda Belu, supaya semakin mencintai makanan tradisional AI Uhik Kuhus, dengan cara rajin menanam ubi kayu untuk dikelola menjadi pendapatan ekonomi keluarga.

Pelaku Bisnis Kuliner Kota Atambua, Densy Roman.

“Makan Ai Uhik Kuhus bersama isi keluarga, mengingatkan kita pada semangat gotong royong para leluhur  dalam menanam dan mempertahankan Ubi Kayu sebagai salah satu makanan utama untuk mempertahankan hidup mereka saat menghadapi musuh penjajah, serta menghadapi musim kering dan gagal panen. Makan Ubi Kukus bersama, mengingatkan kita tentang rasa kebersamaan dalam menghadapi masa-masa sulit yang dialami leluhur kita pada jaman dulu, serta memanfaatkan hasil alam secara maksimal demi keberlanjutan hidup”,papar Densy. (WARTANET/PK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights