FESTIVAL BUDAYA TTS: MENJAGA BAHASA IBU DI ERA DIGITAL
Opini : Pieter Kembo
(Seniman Teater dan Film/Pegiat Budaya/Penerima Anugerah Kebudayaan Provinsi NTT Kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaharu)
WARTANET NKRI.COM – Di tengah derasnya arus globalisasi dan teknologi yang terus melaju, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, memilih langkah berbeda: meneguhkan identitas dengan merawat bahasa dan budaya. Festival Budaya Daerah yang digelar Pemda TTS pada 21 Agustus–2 September 2025 lalu bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan sebuah pernyataan sikap: kita masih punya rumah, dan rumah itu bernama budaya.
Lebih dari 350 peserta dari berbagai jenjang pendidikan, sanggar seni, hingga komunitas lokal tampil dalam lomba tarian tradisional, pidato, cerita rakyat, hingga stand-up comedy berbahasa Dawan. Kreativitas anak muda TTS dipertemukan dengan akar-akar tradisi leluhur. Dari lantai lapangan Pemda TTS, budaya yang kerap dianggap “usang” kembali hidup, ditonton, dan dipelajari ulang.
Namun, di balik sorak-sorai festival, ada pertanyaan yang lebih besar: mampukah upaya ini bertahan di era digital yang cenderung melupakan akar bahasa dan budaya?
Bahasa Daerah: Penopang Identitas yang Rapuh
Balai Bahasa NTT mencatat, ada lebih dari 70 bahasa daerah di NTT, namun tidak semuanya mendapat ruang dalam kurikulum sekolah. Di sinilah persoalan sesungguhnya. Bahasa ibu yang seharusnya menjadi pondasi identitas, sering kali terpinggirkan oleh bahasa nasional, apalagi bahasa global. Generasi muda lebih akrab dengan bahasa media sosial dibanding bahasa ibunya sendiri.
Festival budaya semacam ini menjadi oase di tengah gersangnya perhatian pada bahasa lokal. Tetapi ia tidak bisa berhenti sebagai panggung tahunan. Ia harus ditransformasikan ke dalam kebijakan pendidikan, kurikulum, dan ruang keseharian masyarakat.
Tantangan Teknologi: Musuh atau Kawan?
Teknologi sering dianggap lawan kebudayaan, padahal sebenarnya bisa menjadi kawan. Bayangkan jika tarian Ma’ekat direkam, diunggah, dan viral di media sosial. Bayangkan cerita rakyat Dawan didigitalisasi dalam bentuk komik, film pendek, atau podcast. Bukankah itu cara paling efektif menjangkau generasi yang hidup dengan gawai di tangan?
Tantangannya bukan sekadar melestarikan budaya, melainkan mengemasnya agar relevan. Kalau tidak, budaya hanya akan tinggal sebagai arsip museum, bukan napas kehidupan sehari-hari. (WNN/Liputan Khusus)
Festival Sebagai Titik Awal
Apresiasi patut diberikan kepada Pemda TTS dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, pekerjaan rumah masih panjang. Festival budaya tidak boleh berhenti di panggung, ia harus berlanjut ke kelas, rumah, dan ruang digital. Kurikulum muatan lokal, program literasi budaya, dan dukungan teknologi kreatif menjadi kunci.
Jika bahasa ibu punah, bukan hanya kata yang hilang, melainkan juga cara pandang, nilai, dan identitas sebuah bangsa. Karena itu, Festival Budaya TTS bukan sekadar pesta, melainkan alarm yang mengingatkan kita semua: menjaga budaya adalah menjaga jati diri.(WNN/Liputan Khusus)