UME KBUBU: ARSITEKTUR, IDENTITAS, DAN NAPAS KEBUDAYAAN DAWAN
Oleh: Venansius Fransiskus Kembo
(Mahasiswa Universitas San Pedro Kupang)
WARTANET NKRI.COM – Ketika berbicara tentang rumah adat, kita sering membayangkan bangunan megah yang penuh ukiran, atau struktur tradisional yang luas dan terang. Namun pada masyarakat Timor Dawan, identitas itu justru menjelma dalam sebuah bangunan bundar gelap, sunyi, berasap, tetapi hangat sekaligus penuh makna: Ume Kbubu, rumah asap. Bagi sebagian orang luar, rumah kecil dengan pintu rendah dan tanpa jendela ini mungkin terlihat sederhana, bahkan primitif. Tetapi bagi masyarakat Dawan, ia adalah inti dari kehidupan—ruang yang menyatukan keluarga, menjaga tradisi, dan menghidupkan kembali hubungan dengan leluhur.
Sebagai orang muda yang tumbuh di Nusa Tenggara Timur, saya melihat Ume Kbubu bukan sekadar warisan arsitektur masa lalu. Ia adalah cermin jati diri, penanda bahwa nenek moyang kita bukan hanya piawai mengolah alam, tetapi juga mendesain ruang hidup yang sepenuhnya selaras dengan lingkungan keras Pulau Timor yang kering dan berangin. Struktur bundarnya yang kokoh, atap kerucut yang menghangatkan malam, hingga keberadaan tungku yang tak pernah padam—semua itu bukan kebetulan, melainkan bukti kecerdasan ekologis yang diwariskan turun-temurun.
Namun Ume Kbubu bukan hanya bicara soal arsitektur. Di dalam ruang gelap berasap itu, perempuan Dawan mengambil peran sentral sebagai penjaga kehidupan keluarga. Di sanalah mereka memasak, memelihara api, mengolah hasil panen, menenun kain, dan menjalankan ritus-ritus yang memastikan keluarga tetap dalam lingkaran berkat. Ume Kbubu adalah rumah perempuan, tetapi sekaligus rumah seluruh keluarga. Di sana anak-anak mendengar cerita, suami dan istri berbagi keputusan, dan semua anggota keluarga kembali merasakan kehangatan yang tidak diberikan oleh rumah modern berdinding semen dan beratap seng.
Pada saat yang sama, rumah asap ini adalah ruang sakral. Banyak ritual penting masyarakat Dawan dilakukan di dalamnya—doa panen, penyembuhan tradisional, sampai permohonan perlindungan kepada leluhur. Tungku api di tengah rumah menjadi simbol kehadiran para leluhur, seolah api itu adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sebagaimana asap yang merambat ke atas, demikian pula doa dan harapan keluarga dihantarkan ke langit.
Bagi saya, nilai filosofis Ume Kbubu justru terdapat pada kesederhanaannya. Bentuk bundarnya mengingatkan bahwa hidup selalu berjalan dalam siklus: lahir, berkembang, berbuah, kembali. Atap runcingnya memaksa kita menengadah, seakan menegaskan bahwa manusia tak pernah berdiri sendiri tanpa hubungan dengan Sang Pencipta. Dan pintu rendahnya mengajari kita untuk membungkuk—sebuah simbol kerendahan hati yang semakin sulit ditemukan dalam kehidupan modern.
Sayangnya, modernisasi juga membawa tantangan tersendiri. Banyak keluarga Dawan hari ini lebih memilih rumah permanen dengan ventilasi dan pencahayaan lebih baik. Pilihan ini tentu masuk akal. Namun perlahan-lahan, Ume Kbubu mulai kehilangan tempatnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia dipertahankan sebagai dekorasi budaya, objek wisata, atau ruang upacara saja. Bagi saya, ini adalah alarm yang harus kita dengarkan bersama. Sebab hilangnya Ume Kbubu bukan hanya hilangnya bangunan, tetapi hilangnya bagian penting dari identitas masyarakat Dawan, juga hilangnya jejak kecerdasan lokal yang tidak bisa digantikan.
Karena itu, pelestarian Ume Kbubu bukanlah romantisasi masa lalu, tetapi upaya menjaga keberlanjutan pengetahuan budaya. Pemerintah daerah, komunitas adat, kaum muda, dan lembaga pendidikan harus bekerja bersama untuk memastikan bahwa generasi mendatang masih dapat merasakan hangatnya api di tengah rumah bundar itu—bukan hanya membacanya dalam buku sejarah.
Pada akhirnya, Ume Kbubu mengingatkan kita bahwa rumah bukan hanya tempat berlindung, tetapi ruang yang memelihara jiwa. Ia mengajarkan bahwa arsitektur tradisional tidak kalah modern, karena ia lahir dari pemahaman mendalam tentang alam, manusia, dan spiritualitas. Dalam era yang serba cepat dan penuh distraksi ini, mungkin kita justru perlu belajar kembali dari rumah asap sederhana itu—tentang kedekatan, kerendahan hati, dan hubungan yang tidak pernah putus antara manusia dan leluhur. Ume Kbubu adalah warisan, tetapi lebih dari itu, ia adalah napas yang terus hidup dalam budaya masyarakat Dawan. (WNN)

