POLITIK DIGITAL: MEDSOS DAN PARTISIPASI POLITIK GENERASI MUDA

Pemilihan umum serentak tahun 2024 telah berlangsung. Momen yang disebut sebagai “Pesta Demokrasi” ini merupakan sebuah momen perayaan besar yang memiliki nilai penting dalam berjalannya birokrasi di Indonesia dimana masyarakat yang memenuhi syarat memilih pemimpin yang diharapkan dapat menyejahterakan dan memajukan bangsa, serta membawa bangsa Indonesia lebih dekat kepada tujuan dan cita-cita bangsa (Koc-Michalska & Lilleker, 2017). Keberadaan media sosial di pemerintahan mengubah perspektif lembaga publik dan birokrasi di seluruh dunia. Baru-baru ini, istilah ‘politik digital’ sudah mulai mendapat atensi lebih dari masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda yang biasa disebut “Gen-Z”. Jurnalisme, kampanye politik, dan berbagai kegiatan aktivisme digital lainnya dapat dilakukan hanya dari genggaman tangan. Aktivisme digital memungkinkan masyarakat untuk berpolitik kapanpun, dimanapun, dan tidak terbatas ruang dan waktu. Chadwick dan Howard dalam bukunya Routledge Handbook of Internet Politics menyatakan bahwa internet (media sosial) telah berevolusi menjadi media yang mendasari sistem komunikasi politik masyarakat (Chadwick & Howard, 2009).

John Postill dalam Digital Politics and Political Engagement mengungkapkan bahwa konsep politik digital dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu: 1) pemerintahan digital, 2) demokrasi digital (masyarakat, musyawarah, partisipasi), 3) kampanye digital (partai, kandidat, pemilihan umum), dan 4) mobilisasi digital (kelompok kepentingan dan gerakan sosial) (Postill, 2020). Postill setuju bahwa di era globalisasi ini, perkembangan media sosial begitu cepat dan cukup efektif digunakan sebagai media penyebar informasi mengenai kehidupan politik dan dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti blogging, vlogging, atau kampanye digital lainnya. Dengan memanfaatkan kesempatan ini dan dengan diiringi upaya-upaya positif yang dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan dan para calon pemimpin yang diusung pada pesta demokrasi tahun 2024, para paslon dapat lebih mudah untuk mendapatkan dukungan serta menarik atensi masyarakat dalam menghadapi pesta demokrasi 2024, khususnya atensi dari generasi milenial. Lingkup pembicaraan mengenai politik digital bukan hanya tentang bagaimana kegiatan politik direplikasi secara daring, karena politik digital tidak hanya mendukung tindakan yang telah ditentukan melainkan membuka ruang tindakan baru (Coleman & Freelon, 2015).

Postill sepakat bahwa pemahaman mengenai pemerintahan digital harus diawali dengan pemahaman yang tercantum di buku Building the Virtual State milik Fountain (2001) yang menjelaskan hubungan antara teknologi internet baru dan perubahan kelembagaan dalam lembaga pemerintah di Amerika Serikat. Ketika praktik digital telah menyebar (di media sosial), faksi pendukung para kandidat berlomba-lomba untuk “mencekoki ideologi” mengenai pilihan politik masyarakat saat pesta demokrasi 2024 berlangsung. Akun-akun yang masyarakat ikuti (follow) di media sosial sangat memengaruhi pilihan politik masyarakat. Kandidat yang aktif bermedia sosial tentunya akan lebih menarik atensi generasi muda dibanding yang kurang aktif.

 

Gambar 1. Implikasi Teoritis Media Sosial/Sumber: Artikel Social Media and Public Administration (Bryer & Zavattaro, 2011)

Gambar tersebut menggambarkan alur yang mungkin untuk membentuk implementasi dari teknologi politik digital (e-government) dan media sosial sebagai output dari teknologi yang berkembang seiring perkembangan zaman yang tercermin pada gambar, yaitu hubungan antara pemerintah dan stakeholder. Akan sulit membayangkan bagaimana perkembangan dunia yang telah mengalami perubahan seperti dengan munculnya media sosial ternyata dapat memengaruhi tindakan-tindakan ekspresi politik di kehidupan ini. Kemunculan media sosial menjelaskan bahwa politik dipengaruhi oleh komunikasi digital. Dengan kata lain, komunikasi digital secara fundamental membentuk politik.

Media sosial memainkan peran penting dalam meningkatkan partisipasi politik khususnya bagi generasi muda pada pesta demokrasi yang dilaksanakan pada tahun 2024. Media sosial menyediakan ruang bagi masyarakat untuk ekspresi politik dan melakukan berbagai kegiatan politik hanya dalam genggaman tangan serta bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun. Hal ini berarti tidak ada lagi kata malas dalam berpolitik, khususnya bagi generasi muda yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap penggunaan media sosial. Dengan demikian, para kandidat dapat menganggap hal ini sebagai titik awal dari seluruh proses untuk berinovasi, meningkatkan citra dan menarik atensi serta dukungan menggunakan media sosial. Hambatan-hambatan yang telah dihadapi dalam pesta demokrasi sebelumnya dapat menjadi tolok ukur untuk proses pemilu yang lebih berkembang. Media sosial telah membuat perbedaan dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, upaya-upaya dalam meningkatkan partisipasi politik generasi muda harus senantiasa ditingkatkan, salah satunya dengan pemanfaatan media sosial sebagai sarana menggapai suara generasi muda pada pesta demokrasi 2024. (WartanetNKRI)

Sumber : Kemenseknek RI (setneg.go.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights