AKANKAH ROCKY GERUNG BISA MASUK PENJARA ?

WARTANET NKRI.COM – Kasus dugaan penghinaan yang dilakukan oleh Akdemisi Rocky Gerungcukup  menggemparkan masyarakat Indonesia. Ramai-ramai masyarakat dari berbagai kelompok melakukan pengaduan kepada aparat Kepolisian dan Bareskrim Polri mengambil alih urusan ini.

Banyak kalangan merasa pesimis karena kasus ini merupakan delik aduan sehingga jika Presiden tidak melaporkan ke aparat polisi maka rasanya kasus ini tak mungkin bisa menyeret Rocky Gerung untuk masuk penjara.

Dilansir dari pemberitaan orbitindonesia.com, kejelasan Rocky Gerung bisa masuk penjara atau tidak, tergantung bagaimana pihak hakim menafsirkan secara cermat wilayah terdalam dari permasalahan tersbut.

Menururt Denny JA, lewat pembicaraannya di media orbitindonesia.com, mengatakan hampir pasti Rocky Gerung tidak dapat diadili dengan pasal penghinaan sebab kasus tersebut merupakan delik aduan dan memerlukan pak Jokowi sendiri yang harus mengadukan ke polisi sehingga bapak Jokowi tidak mau melakukanya maka jelas kasus ini tidak bisa diproses.

Kata Denny JA, Jokowi telah menunjukan kelasnya dengan tidak mau mengadukan kasus itu ke polisi karena dianggap sebagai masalah kecil dan bagi Jokowi masalah yang lebih penting adalah terus bekerja membangun masyarakat Indonesia.

“Itu masalah kecil, saya kerja saja,” kata Jokowi ketika diwawancarai berbagai media.

DELIK ADUAN TAK BERLAKU MAKA DELIK UMUM DAPAT DITERAPKAN

Jika delik aduan tak berlaku, Rocky Gerung dapat diadili dengan delik umum. Hal ini dapat dilakukan walaupun tanpa  adanya aduan resmi dari Presiden Jokowi. Pasal-pasal yang dapat diterapkan dalam delik umum adalah pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan hal itu terkait berita bohong dan menimbulkan keonaran.

Inilah wilayah yang dapat memenjarakan Rocky Gerung untuk masuk penjara selama 10 tahun jika pernyataannya di ruang publik itu terbukti mengandung unsur “berita bohong.” menyebabkan “terjadi keonaran dan kegaduhan.”

Coba kita teliti kutipan pernyataan-pernyataan Rocky Gerung sendiri yang telah disebarkan luas di berbagai media, yaitu,

“Begitu Jokowi kehilangan kekuasaannya, dia jadi rakyat biasa, enggak ada yang peduli nanti. Tetapi, ambisi Jokowi adalah mempertahankan legasinya.”

“Dia mesti pergi ke China buat nawarin IKN. Dia mesti mondar-mandir dari satu koalisi ke koalisi yang lain untuk mencari kejelasan nasibnya.”

“Dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia enggak mikirin nasib kita,” kata Rocky

“Itu b** yang t. Kalau dia b* pintar, dia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat. Tapi b* * itu sekaligus b** yang pengecut. Ajaib b*** tapi pengecut,” kata Rocky.

Wilayah abu-abu dari kutipan itu adalah: “Dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia tidak memikirkan nasib kita.” Dia dalam ucapan yang dimaksud itu adalah Jokowi.

Ini dikatakan abu-abu karena bisa ditafsir dua cara. Di satu sisi, itu adalah kritik biasa. Pindah ibu kota ke IKN itu untuk kepentingan Jokowi sendiri, bukan kepentingan kita (bangsa). Ini sebuah kritik.

Di sisi lain, ini dapat pula ditafsir sebagai berita bohong. Masalahnya, itu bukan berita bohong ringan. Tapi itu berita bohong soal kebijakan publik, yang dapat menimbulkan kemarahan, keonaran, dan kegaduhan.

Dari perspektif itu, pindah ibu kota bukan untuk kepentingan Jokowi pribadi. Gagasan itu sudah disampaikan oleh hampir semua presiden Indonesia, sejak zaman  Bung Karno, Pak Harto sampa SBY.

Dipilihnya IKN di Kalimantan juga bukan untuk kepentingan pribadi Jokowi. Tapi itu melalui serangkaian feasibility study oleh banyak ahli.

Di manakah  dari kebijakan IKN itu yang semata- mata untuk kepentingan Jokowi sendiri, yang tak memikirkan kita?

Pernyataan Rocky Gerung itu, baik jika itu salah atau benar, juga belum bernilai pidana. Ia baru punya bobot pidana jika info yang dianggap bohong ini menimbulkan keonaran dan kegaduhan.

Sekali lagi, ini juga area abu- abu. Apa definisi keonaran dan kegaduhan?

Apakah demo protes di beberapa kota pada Rocky Gerung atas kasus ini bisa dianggap bukti keonaran?

Juga laporan ke polisi dari banyak pihak, hingga rumah Rocky Gerung di Bogor yang dilempar telur busuk bisakah itu dianggap bukti keonaran?

Mari kita periksa dulu bunyi lengkap pasal itu.

Pasal 14 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memberikan ketentuan bahwa;

“Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi- tingginya sepuluh tahun”.

Lalu, Pasal 15 UU 1/1946 berbunyi “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”.

Dua kata kunci dalam pasal itu: “Berita bohong,” dan “menerbitkan keonaran.”

Tapi bagaimana cara yang lazim menafsir apa itu “kebohongan,” dan apa itu “menerbitkan keonaran?”

Kamus Besar  Bahasa Indonesia mengartikan bohong sebagai  “tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.”

Dapatkah ditafsirkan Rocky menyatakan Jokowi membuat proyek IKN  untuk kepentingan legasinya sendiri, itu adalah  “tidak sesuai dengan yang sebenarnya.”

Bagaimana dengan soal keonaran?

Dalam KBBI arti keonaran adah “kegemparan; kerusuhan; keributan.”

Pro kontra, demo di berbagai kota akibat pernyataan Rocky cukupkah memenuhi unsur “menciptakan kegaduhan?”

Di pengadilan, hal itu akan dipertarungkan. Hakim yang mengambil keputusan.

Rocky Gerung sudah minta maaf atas kasus pernyataannya itu. Tapi maafnya Rocky masuk ke wilayah abu-abu pula.

Di satu sisi, di mata pendukung Jokowi, Rocky dianggap hanya minta maaf separuh jalan. Ia hanya minta maaf atas efek ucapannya. Maaf hanya untuk kegaduhan dan keonaran yang timbul.

Rocky dianggap tidak minta maaf justru atas esensi ucapannya. Yaitu ucapan yang oleh pendukung Jokowi disebut penghinaan atas diri Presiden Jokowi. Atau ucapan yang bisa ditafsir “berita bohong” yang memburukkan Jokowi.

Di sisi lain, di mata kaum oposisi keras Jokowi, Rocky bisa juga dikritik soal konsistensinya. Mengapa pula Jika ia yakin dengan ucapannya, bukankah kegaduhan itu hal yang wajar bagi kritik yang keras. Mengapa minta maaf perlu ia ucapkan untuk kegaduhan?

Jangankan kegaduhan, bukankah people power dan revolusi itu hal yang biasa saja terjadi dalam sejarah, jika memang kita meyakini kebenaran ucapan?

Mengapa Rocky malah minta maaf?

Aktivis, intelektual, politisi, akademisi cukup terbelah untuk kasus Rocky ini. Penyebabnya karena banyak wilayah yang abu-abu dalam kasus ini. Pro dan kontra yang membelah tak terhindari.

Kasus Rocky Gerung ini hanyalah pengantar saja dari suasana yang akan kita hadapi: tahun politik. Ini sejenis icip-icip pembuka, semacam appetizer untuk menu utama kelak: Pilpres 2024.

Jika Rocky Gerung dipenjara ataupun tidak, apakah tradisi kritik politik akan mati?

Kritik politik adalah anak kandung demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa kritik. Selama ada demokrasi, selama itu pula tradisi kritik menyertai.Tapi publik akan semakin cerdas membedakan, yang mana yang bisa disebut kritik, dan yang mana berita bohong.

Yang mana kritik yang membangun, mencerdaskan, mana kritik yang menghina, yang ibarat tinju: memukul di bawah perut.

Seorang intelektual semakin dihormati jika ia bisa merumuskan kritik yang benar benar mengajak berpikir. Ketajaman kritiknya terasa dari kekuatan fakta dan argumen, bukan dari pilihan kata yang “setengah bohong dan kasar.”

Rocky Gerung telah tampil sebagai kritikus yang otentik. Cerdas dan segar. Tapi untuk beberapa kasus, pilihan katanya bisa dipermasalahkan secara hukum, dan “terlalu puitis.”

Maksud dari “terlalu puitis,” di sini (ada tanda kutipnya), terlalu pedas untuk rata-rata kuping Indonesia. Semua kita, termasuk Rocky Gerung, akan belajar banyak dari kasus ini. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights