TRADISI NASI BAMBU WAERASAN SARAT NILAI DAN FILOSOFI HIDUP ‘PEMERINTAH LAYAK DUKUNG’
Oleh : Pieter Kembo
(Penerima Anugerah Kebudayaan NTT bidang Pencipta, Pelopor dan Pembaharu)
WARTANET NKRI.COM – Tapa Kolo atau Nasi bambu yang dimasak di dalam ruas bambu muda, dengan aroma khas alam — telah menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur masyarakat Manggarai Timur sejak ratusan tahun silam.
Umumnya orang manggarai menyebutnya “Tapa Kolo”, dan masyarakat NTT mengenalnya “Nasi Bambu”, sedangkan masyarakat desa “Waerasan” yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten Ngada dan kabupaten Manggarai Timur menyebutnya “Ghole Toke”, sebutannya berbeda tetapi artinya sama.
Dibalik kesederhanaan makanan Tradisional Kuliner Tapa Kolo atau Ghole Toke ini, tersimpan nilai luhur: gotong royong, kerendahan hati, dan kesatuan hidup keluarga.
Proses memasaknya bukan pekerjaan satu orang. Kaum pria menyiapkan api dan bambu, kaum perempuan menyiapkan lauk dan sayur, dan seluruh kampung berkumpul dalam satu semangat: makan bersama, bersyukur bersama.
Nilai inilah yang kini terancam hilang di tengah budaya instan. Karena itu, pemerintah daerah dan provinsi layak memberi dukungan nyata , bukan sekadar mengakui Tapa Kolo sebagai “kuliner tradisional”, tetapi menjadikannya identitas budaya yang dilestarikan secara sistematis.
Festival kuliner lokal, pendidikan budaya di sekolah, hingga promosi wisata gastronomi dapat menjadi jalannya.
Budaya Waerasan Tercecer namun Sarat Nilai Luhur dan Filosofi Kehidupan
Di Desa Waerasan, Kecamatan Elar Selatan, tersimpan kisah yang mungkin tidak banyak diketahui dunia luar. Budaya mereka seperti Ghole Toke, Nareng, Bari Manuk, dan Caci bukan hanya upacara adat, tapi cara mereka menata kehidupan.
Ritual “Nareng” adalah doa untuk Tuhan dan leluhur; “Bari Manuk” mengajarkan berbagi berkat antar keluarga; “Caci” melambangkan keberanian sekaligus pengendalian diri. Semuanya bermuara pada satu nilai: harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Namun kini, banyak tradisi itu perlahan tercecer. Anak muda lebih mengenal budaya digital daripada kearifan lokalnya sendiri. Karena itu, perlu ada gerakan sadar budaya bukan sekadar nostalgia masa lalu, tapi kebangkitan nilai-nilai luhur yang masih relevan untuk masa kini.
Pemerintah Manfaatkan Budaya Waerasan, Bangun Perbatasan
Budaya bukan hanya soal masa lalu tapi modal sosial dan ekonomi untuk masa depan. Orang Waerasan memiliki tradisi yang kuat, kaya akan filosofi, dan sangat potensi untuk jadi daya tarik wisata budaya di kawasan perbatasan Manggarai Timur.
Bayangkan jika ritual Tapa Kolo atau Ghole Toke, Nareng, Bari Manuk dan Caci dikemas dengan baik dalam festival tahunan yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara, tentu akan mendatangkan ekonomi bagi masyarakat pinggiran di perbatasan.
Sangat mengagumkan jika desa-desa adat menjadi desa wisata budaya, tempat pengunjung tidak hanya menonton, tetapi ikut terlibat dalam pengalaman: menanak nasi bambu, menenun, atau mengikuti prosesi doa syukur panen.
Untuk itu, Pemprov NTT dan Pemda Manggarai Timur dan Lembaga kebudayaan terkait, harus berani melangkah. Bukan sekadar menjadikan budaya sebagai tontonan, tapi membangunnya sebagai sumber ekonomi yang bermartabat, dimana masyarakat adat menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Tokoh-Tokoh Adat Lewurla Waerasan Minta Dukungan Pemerintah
Para tetua adat seperti Kanisius Satal, Antonius Torong, Thomas Loma, Melkior Laling, dan generasi mudanya Stanislaus Ndawan, telah menjaga warisan budaya Waerasan Manggarai Timur dengan penuh cinta.
Namun mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh dukungan kelembagaan terutama dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah pusat lewat Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI di NTT.
Pelestarian budaya tidak bisa berhenti pada dokumentasi. Ia harus hidup — dalam praktik, dalam pendidikan, dalam kebanggaan generasi muda.
Karena itu, menurut saya: sinergi antara masyarakat adat, pemerintah, dan lembaga kebudayaan harus diperkuat.
Hanya dengan cara itu, warisan luhur seperti Tapa Kolo atau Ghole Toke, Nareng, Bari Manuk dan Caci, bisa tetap bernyawa, menjadi cahaya yang menerangi jalan kebudayaan kita ke masa depan.
Menurut saya, Budaya bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan cermin siapa kita dan arah ke mana kita melangkah.
Tapa Kolo atau Ghole Toke, Nareng, Bari Manuk, Caci, mengajarkan kita untuk bersyukur. Bambu mengajarkan kita rendah hati; dan kehidupan adat mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bangsa ini ada di akar budaya yang kita jaga.
Mari kita rawat, kita hidupkan, dan kita wariskan bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupi. ( WNN/Fransiskus Venasius Kembo)

